Bau rumah sakit itu aneh, paduan aroma obat dan penyakit. Bukan hanya di ruang pasien, ke tempat petugas mengurus administrasi pun seakan bau itu mengikuti hidungku.
Suasana tak begitu menyenangkan hatiku. Etta sakit, beliau tak mengeluh tapi wajahnya menunjukkan derita. Baring sejenak, bangkit lagi, rebahan lagi, berulang begitu.
"Tabung oksigen tidak membantu" katanya.
Saya panggil suster, “ini sudah maksimal bu"
Etta rindu kipas anginnya. Adekku membawakan permintaan Etta. Pak Satpam mencegat, akhirnya benda itu menepi saja di sudut luar ruangan.
Map berisi berkas hasil laboratirium Etta jadi penolong, kukipaskan sampai lenganku terasa pegal...
Thanks God, Etta akhirnya tidur.
Sejam kemudian Etta bangun. Bubur habis disantap. Hatiku lega.
Tadi saya menungggu di ruang administrasi. Dapat nomer antrian ke 7, padahal tak ada orang antri di depan atau di belakangku. Kedua staf yang melayani bermuka masam, beradu pendapat dengan nada suara rendah. Mungkin mereka sedang ada masalah diinput sistem.
Saya duduk saja dengan tenang. Tidak membuka handphone. Tiba-tiba mataku tergenang air. Kutahan supaya tidak mengalir lebih kencang, malu dilihat orang.
Alhamdulillah darah golongan B yang Etta butuhkan siap hari ini, Sarah, gadis manis di kantor mau mendonorkan sekantung darahnya. Saya sangat bersyukur.
Bapak yang berada di balik tirai sebelah, berbicara dengan nada suara tinggi, mengeluhkan posisi badannya tidak nyaman, selang infus berdarah dan sebagainya. Dua orang perempuan, mungkin istri dan saudara perempuannya, membujuk-bujuk si bapak dengan sabar. Lalu mereka berulangkali memanggil suster. Melihat kehebohan dia, saya kembali menyadari Etta orang yang tabah.
Ibu di balik tirai sebelah menyapa, memberikan sepotong panininya "Panini ini sangat membantu" katanya.
"Bapak kenapa"
"Jatuh di wc"
Hari ini saya malas bicara. Saya tidak mengatakan Etta mengidap leukemia.
Memang Etta jatuh di WC menjelang subuh. Saya sudah tidur dekat kamarnya, mengapa saya begitu malas bangkit waktu mendengar Etta bangun. Saya menyesal.
"Saya juga pingsan di WC" lanjut ibu itu.
saya tersenyum sopan. Dan kembali mengipasi Etta dengan Map berwarna pink.
****
Dokter perempuan yang bertugas di UGD bertanya ke Etta “ Bagaimana Pak, bersediajeki ditransfusi darah, percuma Bapak dirawat di sini, kalau tidak mau ditransfusi”
Perawatan sebelumny beliau tak mau menerima tindakan dokter jika berkenaan dengan transfusi darah. Etta menoleh kepadaku. Meminta pendapat. Saya mengangguk. Dan Akhirnya Etta mengangguk lemah tanda setuju.
Etta sudah pindah dari ugd ke kamar perawatan. Kami lega, kipas angin bisa dipakai.
tadinya saya heran, kenapa oksigen demikian kencang tak mempan. Rupanya rusak, Suster mengganti tabungnya.
Etta makan sedikit, tapi masih mau.
****
Kantung kedua darah sudah masuk, semoga darah itu punyaku. saya lemas semalaman setelah donor, jadi saya menjenguk keesokan harinya.
"Bagaimana rasanya Ta?membaik kan?"
Etta tidak mau menjawab
****
Saya baru tiba di rumah sakit. Melihat Etta duduk sambil makan, rasanya lega.
saya pencet tombol video call, menggirang-girangkan suaraku menyapa Adek yang menetap di Buol.
"Lihat Etta, sudah baikan!!"
Etta lalu menangis terharu, saat berbincang dengan Adek yang sedang bersama nasabahnya.
****
Kamis, 1 Agustus 2019
Etta begitu payah. Bolak balik muntah, sampai isi perutnya habis terkuras.
Air minum yang dia tuang ke mulutnya dia semburkan kembali.
Etta menatap memandang ke atas. seakan melihat sesuatu yang tinggi, lalu mengalihkan pandangannya. tatapannya aneh dan menghindar. Hatiku berdesir, saya tahu bahwa Etta akan pergi.
"Apa yang kita lihat Ta?"
Etta tak menyahut.
15.00 wita
Ucci bilang semalam Etta tidak tidur, jadi melihat beliau lelap sekarang saya mengucap syukur.
Mungkin Etta menikmati murotal Yasin dari aplikasi hpku, sampai dia tertidur nyenyak.
Suster pun kuhalau ketika obat akan disuntikkan. Biarkan Etta tidur.
Kenapa tiba-tiba air mata mengalir deras. Akhir-akhir ini saya cengeng sekali, mungkin karena datang bulan.
Waktu berlalu.
Kenapa Etta kadang mengorok, apakah lendirnya? tapi kenapa sangat panjang.
keluarga pasien sebelah bilang kalau Etta tidak tidur. Dadaku berdegup kencang.
Etta koma!
Suster memanggil-manggil nama Etta, Etta tak bergeming. Dokter dan suster berdatangan. Mencoba menyadarkan Etta dengan berbagai tindakan. Etta tetap tidur.
Magrib dan Isya berlalu.....
Kapan Etta pergi? saya tidak menyadarinya. Padahal saya didekatnya setiap saat, baik di ruang perawatan maupun ruang ICU. Terus-terus kuulang kalimat tahmid di telinganya.
Etta telah pergi di malam jumat.
Kakiku lunglai. menangis, berpelukan dengan anak lelakiku yang berumur 6 tahun. Kami menangis bersama, bungsuku menutupi wajahnya dengan topi. Ini kematian pertama yang dia saksikan. Dia kehilangan kakeknya, saya menjadi yatim piatu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ada palekko ada kanse
Disantap dengan sambal cobek tumis
Leave any comment please
Yang penting tidak bikin penulis meringis