Dari Matalalang ke Batu Karapu. Jika
Bali adalah Pulau Dewata, maka Selayar mungkin pulau lainnya para dewa. Begitu banyak keindahan di kabupaten paling selatan ini, baik yang sudah mendunia maupun yang belum terjamah media. Sampai-sampai walaupun sudah bertahun-tahun ke Selayar, daftar objek wisata yang belum saya datangi masih panjang.
Kali ini saya akan bercerita tentang petualangan sehari mengunjungi objek wisata laut. Rombongan kecil; saya, Pap Nay, Tetta, dan Kak Ani, mengendarai motor pagi itu. Sengaja berangkatnya dini hari, selain karena saat itu para bocah masih lelap, juga untuk menghindari kulit gosong terpapar matahari siang.
Hutan Mangrove Matalalang
Hutan Mangrove Matalalang |
Kami mengunjungi tempat ini pertama kali karena lokasinya sangat dekat dari kota Benteng, hanya sekitar 3 km saja ke arah selatan. Beruntungnya kami tiba saat jalanan untuk pengunjung sudah dibangun. Kayu-kayu yang terpasang tampak masih baru, memanjang menjorok sampai ke laut. Sayang, kualitas kayu yang digunakan tidak begitu bagus. Mudah-mudahan tahun depan jika kesini lagi, semuanya masih utuh.
Pagi-pagi diberi pemandangan hijau begini, hati jadi adem. Apalagi tidak ada orang selain kami berempat. Melangkah beberapa meter ke depan bikin tambah adem lagi. Sayang tidak bawa kopi dan pisang goreng, kalau iya, mungkin kami ngaso lama di sini.
Air laut di Matalalang sangat jernih, tenang tidak beriak. Kamu bisa melihat bayanganmu sendiri terpantul utuh. Air laut yang diterpa sinar matahari pagi, permukaannya tampak berkilau indah.
What a beautiful morning! |
Waktu berkapal pulang dari Pulau Liang Kereta beberapa hari setelahnya, saya sempat melihat penampakan hutan mangrove ini dari kejauhan. Dilihat dari laut, hutan ini cukup panjang dan rimbun, sayang tidak sempat ambil gambarnya, karena waktu itu HP dibajak Ayyan, tidak mau dilepas pula walau dibujuk pakai kalimat apapun.
Tanjung Batu Karapu
Pagi itu, setelah puas menikmati pemandangan laut dan hutan bakau di Matalalang, Tetta mengajak kami ke sebuah tempat yang menurutnya “gammara”. Sedikit-sedikit saya mulai paham Bahasa Selayar, gammara berarti bagus atau indah. Bahasa Selayar sangat jauh berbeda dengan Bahasa Bugis, pengucapannya lebih mendekati Bahasa Makassar. Mungkin karena hidup di daerah pantai, suara orang Selayar juga lumayan keras, dan sering kebawa-bawa walaupun mereka memakai Bahasa Indonesia. Itulah sebabnya sampai sekarang, saya masih sering ngambek, mengira suami marah karena bersuara keras.
Soal suara keras ini beberapa kali terjadi kejadian ini; saat saya sedang memasak di dapur, tiba-tiba terdengar suara ribut. Buru-buru saya mematikan kompor dan berlari keluar karena mengira Pap Nay sedang perang mulut dengan seseorang. Eh rupanya dia sedang ngobrol dengan teman sekampungnya di telepon.
Kok jadi ngomongin bahasa ya :D
Balik lagi ke topik cerita.
Untuk menuju ke Tanjung Batu Karapu, kami harus melewati jalan yang agak menantang. Tetta sang pemandu harus bertanya ke penduduk setempat, belokan mana tepatnya kami harus menuju. Jadi di postingan ini saya tidak bisa menjelaskan detail alamatnya, lha penunjuk jalannya saja masih bingung hehehe.
Nah setelah mengikuti rute sesuai petunjuk ibu yang kami tanyai tadi, jalanan yang dilewati mulai sempit di areal perkebunan pohon kelapa. Tidak lama kemudian jalanan menanjak, menurun, menanjak lagi di areal hutan yang sepertinya baru saja dibabat dan dijadikan jalan. Babatan cukup luas, pemerintah Selayar sepertinya menaruh perhatian besar pada objek wisata ini. Walaupun masih dalam proses pengerjaan, jelas jalan yang dibuat direncanakan cukup lebar, keadaan tersebut sama sampai kami tiba di tempat tujuan.
Tibalah di persimpangan, kami tidak menemukan seseorang pun untuk ditanyai. Kanan atau kiri? Akhirnya motor dibelokkan ke kanan dulu. Sepertinya benar, 3 anak muda baru saja memarkirkan kendaraannya. Kami lalu mengekori mereka berjalan kaki menerobos hutan (hallah…bahasanya, padahal hanya beberapa meter melangkah :P)
Hutan berada di ketinggian, beberapa tanaman khas hutan seperti kemuning tumbuh liar di sini. Pap Nay mencoba mencabutnya, tanaman yang bunganya berbau harum ini ternyata berakar sangat kuat, tiba-tiba saya menyesal tidak bawa linggis, gagal lah kami mengadopsi kemuning untuk dijadikan bonsai di rumah.
Tetta yang berjalan mendahului kami berteriak, mengajak kami ke tempat dia berdiri, karena pemandangan di situ lebih indah.
Memang benar indah tapi serem.
Coba lihat tempat kami foto-foto itu. Tingginya mungkin 40 meter dari atas air laut, tidak ada pagar pelindung. Tanahnya berkerikil, benar-benar rawan tergelincir. Kami memutuskan cepat-cepat beranjak, ini bukan tujuan utama kami, tapi di bawah, yaitu tanjung yang kami lihat dari ketinggian ini.
Jadi perjalanan dilanjutkan menuju persimpangan tadi, kali ini kami ke kiri. Beberapa menit kemudian, kami sampai. Benar kata Tetta, tempat ini gammara. Waktu kami tiba, suasana tanjung masih sepi, pengunjung ada tapi sudah siap pulang. Kami seperti berada di pulau pribadi.
Pasirnya putih bersih |
Pantai di sini benar-benar bersih, dibandingkan pantai-pantai sebelumnya yang saya pernah kunjungi, inilah maskotnya, the best-nya, juaranya. Kurang apa coba, saat hampir tiba saja, karena kami di ketinggian, kami disuguhi pemandangan rimbunnya hutan, lanjut turun ke bawah dapat pasir lembut yang superrrr putih, terus memandang ke depan, ada birunya laut yang aduhaiiiii jernihnya, terus mendongak ke atas, eh ada tebing tinggi menjulang yang eksotik. Tidak cukup sampai di situ, melayangkan pandang jauh ke kanan, ada tebing bercincin yang menjorok kelaut. Yang terakhir yang disebut itulah yang jadi latar aksi foto selfie yang ramai di linimasa.
di bagian ini banyak kepiting kecilnya |
dibentengi tebing yang tinggi |
mirip bentuk kepala ikan kerapu |
Tadinya saya pikir akan sulit menginjakkan kaki di sana, karena mengira harus melewati air yang tingginya sampai dada. Rupanya salah, cukup buka sandal, gulung celana sampai sebetis, kamu bisa berada di balik karang itu. Kami melewati lobang serupa cincin itu dan menemukan ada lagi cincin serupa menanti. Ih keren!
Batu Karapu memiliki cerita mitos yang wallahualllam benar tidaknya. Cerita ini saya dapatkan dari mama mertua setelah kembali ke rumah.
Jaman dahulu, seekor ikan kerapu yang berukuran sangat besar terdampar di tanjung ini. Lama dia berusaha meloloskan diri tapi tidak bisa juga kembali ke tengah laut. Jadi untuk bertahan hidup, si ikan menyantap apa saja makhluk hidup yang lewat di dekatnya, termasuk manusia. Seiring waktu si ikan kerapu akhirnya mati dan berubah menjadi batu.
Demikianlah asal mula nama Tanjung Batu Karapu. Kabarnya lagi, Tanjung Batu Karapu di jaman dulu adalah tempat yang angker, kapal banyak yang karam terhempas di tebing. Memang jika musim barat, air laut lebih ganas.
Begitulah cerita petualangan saya satu hari itu. Menyambangi kedua tempat yang saya ceritakan di atas sebenarnya hanya memakan waktu setengah hari, tapi di pertengahan jalan pulang, kami singgah silaturahmi di kediaman beberapa keluarga, dan sempat terjebak hujan pula. Jadinya tiba di rumah menjelang sore.
Wah, pantainya mbak masih putih dan bersih sekali, surga tersembunyi :)
BalasHapusIya mba Titis, pulau Selayar memang gak ada matinya
Hapuswah panatinya indah , dan hutan mangrovenya bagus sekali
BalasHapusIya mba..mdh2an kedepannya tetap tdk tercemari seperti pantai di kota
HapusWah bagus banget, masih asri ya suasananya dan masih sepiiiiii
BalasHapusIya bener banget..sy pun betah disini kayak tidak mau plg
Hapusmasih sangat alami sekali tempatnya
BalasHapusMdh2an kayak gini terus ya :)
Hapuskeren banget foto-fotonya kak
BalasHapusRental Mobil