Foto dari berbagai sumber |
Makan siang di Pulau Liang Kareta. Foto-foto di atas saya kumpulkan dari berbagai sumber hasil temuan Mbah Google dengan kata kunci “Liang Kareta”. Indah bukan? Seperti itulah bayangan saya tentang pulau ini, alangkah tenang dan damainya jika berada di sana, sebuah pulau tak berpenduduk, dengan kolam laut luas berair jernih tak bertepi..ahhh.
Saya sudah menginjakkan kaki di Pulau Liang Kareta pada saat liburan panjang kemarin.
Waktu itu Adek Ayyan baru saja sembuh dari demam, tapi masih ogah makan. Sementara persiapan ke Pulau Liang Kareta sudah mantap, kami sudah ngomong ke pemilik kapal, sudah deal harga sewanya, bahkan bahan-bahan makanan untuk dijadikan bekal sudah siap. Tapi keadaan adek Ayyan belum stabil juga. Memang suhu tubuhnya sudah normal, tapi setiap disuap dia menutup mulut rapat-rapat, maunya minum susu saja.
Sempat kepikiran untuk tinggal di rumah saja menemani Adek, tapi mama mertua bilang tidak apa-apa membawanya serta karena kapal yang akan kami tumpangi punya kamar, jadi Adek bakalan aman, tidak masuk angin.
Jadi teringat masa-masa ketika Kakak Naylah masih seumur Adek Ayyan, adat dia kalau pulang kampung pasti malas makan. Segala macam makanan kesukaannya kami beli, tapi dia tetap tidak bisa lahap. Waktu itu dia dibawa rekreasi ke suatu pulau oleh kakeknya (lupa nama pulaunya apa), eh sesampainya di sana baru mau makan. Mungkin Adek akan begitu juga, pikirku. Jadi berangkatlah kami hari itu. Tentu saja dengan melapisi seluruh tubuh Adek dengan Jaket, kaos kaki, dan sarung.
Ternyata benar kata mama, bagan ada kamarnya. Hati jadi tenang. Bagan adalah kapal yang biasanya dipakai menangkap ikan di laut, dilengkapi dengan batang-batang bambu atau balok kayu yang terpasang kiri-kanannya untuk menjaga keseimbangan kapal. Kapal ini kami sewa lumayan murah, sudah termasuk sopir dan bahan bakarnya, cuma dikenakan harga 400rb. Kok bisa? Karena yang punya kenalan bapak mertua saya :D
kapal siap berangkat |
Kapal dilengkapi 2 kamar sebenarnya, satu untuk nahkoda, terletak di bagian atas, yang satu lagi kamar untuk tempat istirahat penumpang di bagian bawah. Waktu berangkat saya dan anak-anak di kamar bawah. Adek tertidur sepanjang jalan, lelap sekali. Sedangkan Naylah duduk di dekat jendela, dia memandang laut dengan tenang. Nah, setelah balik ke Benteng, barulah kami ditempatkan di kamar nahkoda yang ternyata lebih nyaman, lebih bersih dan tidak bising oleh suara mesin. Fasilitas kamar nahkoda juga lebih lengkap, ada TV, speaker dan kipas anginnya. *nelan liur pengen punya juga.
Berita kami sekeluarga akan ke Pulau Liang Kareta cepat beredar. Kapal yang kami sewa ikut ditumpangi banyak orang. Jadi sekitar 40 orang yang diangkut di kapal tersebut, dan sebagian besar saya tidak kenal. Wajar sih kalau banyak yang ikut, saya pun malah senang bisa memaksimalkan penggunaan kapalnya, karena untuk rekreasi ke Liang Kereta memang butuh niat dan modal.
Kami berangkat dari pelabuhan Benteng saat laut tenang dan tidak begitu berangin, kapal melaju dengan mulus. Jarak tempuh lumayan jauh ternyata, sekitar 1,5 jam perjalanan, hampir menyamai lamanya perjalanan yang kami tempuh dari Pelabuhan Bira Bulukumba ke Pulau Selayar.
Matahari sudah tepat di atas ubun-ubun saat Pulau Liang Kareta mulai nampak dari kejauhan. Laju kapal mulai dilambatkan. Para penumpang yang tadinya duduk atau tidur mulai bangkit mempersiapkan barang bawaan masing-masing. Saya pun demikian, mulai mengambil ransel dan perlengkapan Adek Ayyan. Adek sendiri kelihatan bersemangat dengan suasana rekreasi, tapi sayang badannya masih lemah, jadi dia digendong terus sama bapaknya.
Saat mesin kapal baru saja dimatikan, anak-anak langsung lompat kegirangan |
Karena tidak berencana berenang, saya tidak bawa baju ganti sama sekali. Sementara antara kapal dan daratan masih beberapa meter, airnya pun dalam. Jadi kami dijemput perahu kecil agar bisa sampai di daratan dengan baju tetap kering. Demikian pula dengan bekal makan siang, seember besar nasi sudah dipersiapkan mama mertua saya, dengan lauk ayam goreng, mie goreng, telur rebus dan sambel pedes, semua diangkut bolak-balik dengan perahu mini itu, yang dalam Bahasa Selayar disebut Lepa-lepa.
Pulau Liang Kareta sendiri penampakannya bagaimana?
Seperti kebanyakan pantai di Selayar, pasirnya putih, airnya juga jernih. Yang membedakan pantai ini dengan lain adalah tebingnya. Entah apa ya istilahnya dalam kamus kelautan, di sini beberapa bagian pantai diatapi tebing. Air di bagian bawah tebing ini lebih jernih, cocok jadi tempat berendam walaupun saat matahari sedang terik. Pepohonan di sini juga lumayan banyak sebenarnya, sayang saya tidak bisa cerita banyak soal ini, karena beberapa keterbatasan yang akan saya ceritakan di bawah.
Saya merasa berada di Pulau Liang Kareta di waktu yang salah, karena alasan ini
Kekurangan jalan ramai-ramai adalah kamu harus menunggu semua anggota rombongan siap baru boleh berangkat. Ada yang belum mandi, ada yang baru cari ini itu, ada yang memang gerakannya lambat, dll. Akibatnya kami tiba di pulau saat matahari sudah tinggi. Naylah saja yang berkulit lumayan putih, hanya main pasir beberapa jam langsung menghitam. Kalau saya lebih baik berlindung di tempat yang teduh sebelum bintik hitam di wajah tambah merajalela.
Naylah asyik main pasir |
Adek Ayyan masih sakit
Seperti yang saya saya ceritakan di awal tadi, karena perut Adek beberapa hari itu cuma berisi susu, jadi saya tidak bisa santai. Pikiran dihantui bagaimana agar bocah ini mau makan dan mencoba menyuapnya sepanjang waktu. Saya dan Pap Nay berusaha membujuknya makan beberapa suap, sambil dia main air, Alhamdulillah dia mau walaupun masih jauh dari porsi normalnya.
Adek kurus kering :( |
Persis yang saya perkirakan sebelum berangkat, Adek merengek minta nyebur ke laut, yang akhirnya terpaksa saya biarkan. Sudah jadi konsekuensi karena mengajak dia ikut ke pulau, melarang anak-anak main air saat di pantai adalah hal yang mustahil kan?
Terlalu ramai
Dengan jarak tempuh 1,5 jam, menggunakan kapal carteran pula, saya tidak menyangka pulau ini akan sangat ramai. Beberapa kapal terparkir di tepi pulau, belum lagi kapal yang hanya mengantar penumpang dan balik lagi. Aduh benar-benar di luar ekspektasi saya, yang mengira akan mengunjungi pulau tak berpenghuni yang senyap. Seorang bapak yang kami tanyai perihal ramainya pulau ini mengiyakan kalau sekarang Pulau Liang Kareta lagi naik daun, kebanyakan turis asing atau domestik minta diantar ke Liang Kareta.
Kapal yang parkir di Pulau Liang Kareta |
Ramai, ini baru sebagian pengunjung |
Serangan asap
Karena waktunya makan siang, setiba di sana, bekal yang dibawa langsung disiapkan untuk disantap ramai-ramai. Tiba-tiba mata kami semua perih. Astagafirullah kami dikepung asap. Penumpang-penumpang kapal yang baru saja merapat tadi sedang mempersiapkan bara api untuk bakar ikan, mereka menggunakan sabuk kelapa yang mengepulkan asap tebal. Memang sih tidak ada larangan bakar ikan di pantai, tapi karena pantai itu dibentengi tebing, asapnya tidak mengalir, malah mengepung kami yang kebetulan gelar tikar di tengah. Perihnya mata bikin makan siang kami sangat terganggu.
Kami kebagian asap, tapi tidak dapat ikan bakar :D |
Begitulah kejadian hari itu, jauh panggang dari api, jauh kenyataan dari harapan. Jadi kegiatan saya cuma itu saja, makan siang, menyuap Adek, dan foto-foto (yang ternyata hasilnya blur semua) Hiks
Siang belum berganti sore, tapi rombongan sudah berkemas pulang. Selamat tinggal Pulau Liang Kareta, sayang sekali kami menemuimu di saat yang tidak tepat.
Lokasi : Pulau Liang Kareta, Selayar, Sulawesi Selatan