“Apa itu?” telunjuk saya mengarah ke atas, menunjuk di kejauhan.
Pemandangan itu jarang terlihat, teman-teman serombongan yang terdiri saya, beberapa teman, suami dan kerabat tidak menyadarinya. Sayapun tidak akan melihatnya jika tidak kebetulan berjongkok memperbaiki tali sepatu yang lepas. Harus merunduk dan menengadahkan kepala untuk melihatnya, sebuah rongga berbentuk kubah, serupa gerbang masuk tak berpintu di puncak sebuah bangunan tinggi mirip menara. Tapi ini berbeda, bangunannya sangat besar dan menjulang. Lokasinya masih jauh pikirku, karena yang kami lihat hanya puncaknya saja.
“ayo kesana!” kata suami mengajak rombongan.
Perjalanan menuju ke tempat itu singkat saja, tidak sejauh yang kami duga. Pemandu yang mengantar enggan ikut masuk, dia hanya mewanti-wanti kami harus jaga sikap, bangunan itu merupakan tempat keramat yang disucikan bebeberapa orang. Pesan itu terpatri baik-baik di benak saya.
Anehnya tidak ada tangga di bangunan ini, kami hanya terus berjalan menanjak, menginjak lantai bersemen tanpa keramik, suram, bikin hati segan. Bangunan jauh dari nuangsa modern, lebih terasa angker, antik. Segala penjuru, dinding, lantai berwarna abu-abu kusam. Saat kami datang ibu-ibu berpakaian putih berjalan beriringan, menunduk taksim entah menuju kemana. Seorang penjaga berkumis tanpa baju memberi isyarat, mempersilahkan kami masuk. Seseorang dari rombongan berbisik “biasanya ditanya-tanya dulu baru boleh masuk”.
Kami semua berjalan dalam diam, memandang segala penjuru ruangan yang tertangkap mata. Kosong, tidak ada lemari, tidak ada kursi, tidak ada hiasan dinding. Luas dan dingin. Kami baru sampai puncak bangunan, ketika suara bergemuruh muncul dari arah belakang, saya menengok dengan dada berdesir dengan kencang. Pemandangan menakutkan, sangat menakutkan, air bah berwarna cokelat memenuhi daratan, hampir mencapai kami. Saya panik..”Anakku, ibu, bapak ada di bawah!!!”
Tidak ada daratan yang terlihat, tak ada atap rumah. Saya menyadari kami memang berada di puncak bangunan tertinggi di daerah ini. Rasanya ingin melolong dan menjerit, tapi suara tercekat ditenggorokan. Saya hanya bisa menatap satu persatu teman rombongan, dan lega masih ada beberapa keluarga tercinta di sana; suami, Kakak Nay, dan nenek.
Saya berlari ke bawah, ke bagian bangunan yang belum tergenang air, beberapa orang berusaha naik ke menara. Tiba-tiba mata saya menangkap sosok seorang anak kecil berbaju dan bercelana biru sendirian, berusaha menggapai tempat yang lebih tinggi. Dada berdegup penuh harap. Dia menoleh, melihatku.
“Adek Ayyannnnnn!!!” saya menghampirinya dengan air mata berurai. Adek mengenali saya, dia berlari kencang dengan kaki mungilnya. Saya langsung mendekapnya erat, memenuhi wajahnya dengan ciuman yang bercampur air mata.
“Pa..Adek selamat..Adek selamat” kami berpelukan berempat.
Satu persatu orang yang saya kenal berhasil mencapai menara.
“Mana Ibu?"
Saya mencengkram bahu setiap orang yang selamat. Jawaban mereka hanya gelengan, sampai saya bertemu dengan Cut, sahabat karibku.
“Ibumu meninggal, bapakmu hilang” dia mulai bercerita dengan wajah kelelahan.
“si Anu meninggal tadi, padahal dia sedang hamil” sambungnya dengan isak tangis menyebut nama sahabat kami yang lain.
“Si Anu juga meninggal, Si Anu, Si Anu...” Dia terus menyebut nama-nama orang yang kami kenal, tetangga, imam masjid, om, tante, teman pengajian.
Saya sudah kehilangan rasa. Sudah tidak bisa mendefinisikannya, begitu banyak kematian, kerusakan. Kami yang hidup mulai berkumpul di puncak menara, duduk, saling memandang dengan sendu. Hening. Tak ada tangisan, tak ada isakan, tak ada suara. Hanya suara air bah yang bergemuruh.
Tiba-tiba alarm hp yang disetel pukul 5 berdering kencang, diselingi suara bocah yang bangun karena tidurnya terganggu.
“Mama..mama matikan Hp”
Saya baringkan Adek kembali, mengusap lembut pipinya. Ah..syukurlah ini hanya mimpi.
Parepare, 02 06 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ada palekko ada kanse
Disantap dengan sambal cobek tumis
Leave any comment please
Yang penting tidak bikin penulis meringis