Artikel ini sambungan tulisan sebelumnya “Berlibur di Desa (Part 1), sengaja saya tulis agak panjang sampai 2 postingan, untuk mengenang kebaikan Tante Bia yang telah menerima kami nginap semalam di rumahnya.
Nikmatnya masakan Tante Bia
Kami disambut Tante Bia dengan teh hangat dan berbagai macam kue, ada biskuit, kerupuk jintan, satu lagi lupa, dan barongko. Anak-anak menyukai barongko dan kerupuknya. Liat aksi Naylah makan barongko, sampai lupa duduk rapi.
Setelah sholat magrib perut mulai tidak stabil, kampung tengah saya kadang berdendang kadang pula mengira hari sudah pagi, kukkuruyuk menirukan suara ayam. Untungnya, tak lama kemudian terhidang nasi hangat dengan lauk ikan goreng di baki, mengepul mengundang selera. Ikan goreng dilengkapi dengan sambel pedes jeruk purut, disiram indomie (andalan kalau sayur habis), aduhai nikmatnya. Entah kenapa, ikan itu ya, waktu digoreng saja aromanya sudah menyebar kemana-mana, mungkin bawaan perasaan lapar atau memang menggorengnya spesial, minyak yang dipakai dari kelapa asli buatan sendiri, harum menggoda. Tadi, waktu Tante Bia masak, bolak-balik saya masuk dapur bertanya heran kenapa ikan goreng yang jenis ikannya sama dengan yang sering saya beli aromanya bisa beda begitu. Yang ditanya senyum-senyum, mungkin membatin “iya tau kamu sudah lapar” hahaha.
Benar saja, begitu terhidang langsung digempur, yang tersisa hanyalah tulang belulang saja :D
Dini hari tante Bia ke pasar. Pasar disini hanya buka sekali dalam 5 hari. Baru juga anak-anak bangun, Tante Bia sudah datang bawa belanjaan yang bikin iri saya lahir batin. Bayangkan bu ibu… sebaskom kepiting dibeli cuma seharga 10rb rupiah. Tante Bia bilang karena dia sama penjualnya bersahabat, makanya dikasih harga segitu, biasanya dijual ke orang lain 20 rb. Segitupun tetap murah ya.
Tetaplah ya, dimana-mana kalau perempuan ketemu selalu ada obrolan soal harga :D
Sekarang waktunya sarapan. Kali ini, selain ikan bakar, di baki Tante Bia ada masakan kepiting. Jadi ngiler lagi waktu tulis ini. Hari masih pagi, tapi hidangan sudah seperti menu makan siang. Kami duduk bersila bersama, mengelilingi hidangan yang menurut saya istimewa, karena tahu semua ikan dan kepitingnya sangat segar, fresh from the sea.
Ada kebiasaan Tante Bia yang bikin saya lumayan tersiksa, setiap melihat nasi di piring mulai berkurang, dia tambah lagi tanpa kalimat pembuka, tiba-tiba nasi saya sudah menggunung lagi. Mungkin memang begitulah salah satu adab keramahan di desa. Kalau dihitung-hitung mungkin saya sudah menelan 2-3 piring nasi, astagafirullah. Saking banyaknya, saya sampai kurang selera diajak singgah makan siang lagi, nasi tadi awet mengganjal perut.
Berpamitan
Kami pulang sebelum siang. Perjalanan masih panjang, lagipula mungkin, walaupun tidak bilang, mereka bermaksud ke sawah, masih ada padi yang belum dipanen. Tante Bia membekali kami macam-macam; ada kelapa, pisang, dan kue. Bahkan mau dibungkuskan beras juga, tapi kami tolak.
Kunjungan ke rumah Tante Bia sungguh berkesan. Semoga ada kesempatan di lain waktu, kami akan bersilaturahmi ke sana. Tapi tidak pakai acara kesasar lagi, supaya bisa lebih menikmati perjalanan.
Begitulah salah satu cerita long weekend kami beberapa hari yang lalu, bagaimana cerita liburan kamu?
Rumahku jg didesa mba, dan iya kl ada sodara dtang gt suka dibawain beras, pisang ya pkoknya kyk yg di tipi2lah hahaha...
BalasHapusHahahaha
HapusMemang gitu ya mba..sy pun kl pulang Kampung pasti dikasih nenek macam2, sampe jeruk, asam dll..