Biarkan Anak Kita Berkreasi. Tubuhnya agak berisi, wajahnya bulat. Anak ini duduk kalem di depan meja kecilnya, di samping Naylah. Peralatan mewarnainya sungguh mengesankan, jumlah crayonnya 4 kali lipat dari punya Naylah, tempatnya saja besar, sebuah koper kecil transparan penuh crayon dengan banyak turunan warna. Tak hanya itu, di tempat crayon tersebut terdapat beberapa batang cotton bud dan sebuah kuas kosmetik berukuran agak besar. Awalnya saya masih menerka-nerka gunanya apa, rupanya kuas itu untuk membersihkan serbuk crayon saat mewarnai, sementara cotton bud untuk meratakan hasil olesan crayon yang terlalu tebal. Saya sungguh terkesan. Ibunya hebat nian, sigap menyediakan peralatan tempur yang terpikirkan saja, tidak pernah olehku. Jangankan sekoper crayon begitu, sekotak crayon berisi 12 batang yang dibawa Naylah, baru saja saya beli di perjalanan menuju lokasi lomba tadi (tak layak tiru yang ini hehehe).
Panitia berseru “ Ibu-ibu tolong agak jauh dari anaknya ya, biarkan anaknya berkreasi”
Memang beberapa menyingkir, tapi ibu si anak yang perlengkapan mewarnainya komplit ini, tetap duduk manis dekat anaknya, beberapa ibu lain juga berlaku serupa.
Saya memutuskan berkeliling, melihat-lihat perbedaan anak laki-laki dan anak perempuan takkala mewarnai. Anak laki-laki mewarnai gedung dengan warna-warna kalem seperti abu-abu, cokelat, sementara anak perempuan mewarnainya lebih cerah.
Setelah itu balik lagi mengecek Naylah, melempar senyum setiap kali dia mencari-cari mamanya. Saat itu, saya melihat kembali anak yang perlengkapan mewarnainya lengkap itu. Dia baru saja selesai mewarnai jalanan dengan warna cokelat yang sempurna. Mulus, tanpa cela. Cara mewarnainya begitu halus, tidak ada yang mencong-mencong, saya yakin dia mewarnainya dengan menggosok crayonnya searah.
Saya masih betah melihat dia mewarnai ketika sadar dia sangat bergantung pada ibunya. Ternyata warna-warna yang anak ini pakai semua dipilihkan oleh ibunya. Bahkan ketika ibunya berkata merah untuk warna mobil, dia masih bertanya warna merah mana yang harus dia pilih, maklum warna merah di koper crayonnya ada beberapa. Begitu seterusnya, anak ini tidak melewatkan satupun gambar di kertas tanpa meminta tanggapan ibunya; ban mobil, batang pohon, daunnya, gedung-gedung, sampai gambar paling kecil pun warnanya dipilihkan oleh si ibu.
Inilah kira-kira salah satu contoh nyata terpampang di depan mata, bukan fatamorgana…
Si ibu sedang mendidik anaknya menjadi seorang passenger, bukan driver. Seorang yang bermental passenger adalah seseorang yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri.
Sungguh disayangkan, padahal anaknya sudah demikian telaten, dengan sabar mewarnai setiap bagian dengan begitu rapi dan halus. Tapi dengan semena-mena dilenyapkan kreatifitasnya oleh si ibu. Padahal seandainya dia dibiarkan memutuskan sendiri warna yang dia inginkan, bisa jadi warnanya akan lebih indah.
Anak-anak memiliki daya imajinasi yang tinggi, mereka bahkan kadang memiliki alasan yang tidak terpikirkan oleh kita orang dewasa ketika memutuskan sesuatu. Anak yang punya koper crayon tadi tidak sendiri, banyak orang tua bertingkah serupa dengan ibunya, meneriaki dari pinggir arena apa yang harus dilakukan anaknya.
Ibu berkata “langit tidak hitam, tapi biru”
Menurut anak langit hitam karena mendung
“pohon warna hijau, bukan cokelat”
Menurut anak, daunnya hampir meranggas
“jalanannya dulu diwarnai”
Menurut anak, gedungnya dulu yang lebih mudah
Kita tidak pernah tahu ide brilian apa di kepala mereka, kenapa harus dikacaukan.
Anak hanya ingin bersenang-senang, tapi ibunya ingin menang.
Walhasil, anak yang harus bekerja keras menyelesaikan kertas dengan full warna menjadi tersiksa dan frustasi.
Ayolah, biarkan mereka berkreasi, kalah menang itu hanya tropi dan bungkusan hadiah yang besar, yang kemungkinan besar bisa kok kita beli sendiri.
Tapi merusak kemampuan anak mengambil keputusan sendiri adalah harga yang sangat mahal, yang akan anak-anak bawa sampai dewasa, bahkan sampai tua. Sungguh tak sepadan kan?
Sempat seorang ibu membisiki untuk membantu Naylah merapikan warna langitnya yang kurang rapi, padahal gedungnya sudah lumayan cantik.
Saya menggeleng tersenyum…. ah kami cuma bersenang-senang kok.
Parepare, 24 01 2016
Nur Islah