Jika kamu berangkat dari Makassar ke Selayar menggunakan pesawat, kira-kira 1 kilometer dari bandara H. Aroepala menuju ke kota Benteng, kamu akan menemukan tempat ini di sebelah kiri jalan. Sebuah bangunan berhalaman luas. Di tengah bangunan terdapat ruangan kaca yang pintunya tergembok (kadang juga tidak), di dalam ruangan kaca di balik pintu itulah letak gong nekara terbesar di Asia Tenggara berada.
Gong nekara ditempatkan di ruangan yang terbilang sempit, hanya memuat gongnya dan sedikit tempat untuk pengunjung, hal yang saya sesalkan pada bangunan ini. Padahal keseluruhan lokasi terbilang luas, kenapa tempat untuk mengamati gong yang menjadi tujuan utama kunjungan dibuat begitu sempit?, mungkin memang gong nekara bukan untuk disentuh ya, hanya di amati dari luar saja, tapi bagi saya, jika bisa diamati sambil disentuh kenapa harus di luar, iya kan?
Saat mengunjungi gong nekara untuk kesekian kalinya, saya sedang berencana ke Padang (kunjungan ke Padang akan saya tulis di postingan lain). Saya ke tempat ini lagi, sekedar singgah, sekalian mengecek kalau-kalau ada perubahan atau penambahan benda pusaka. Ternyata memang benar ada yang berubah, tapi bukan pada benda pusakanya, melainkan sejarah gong nekara yang dulu tertulis di sebuah papan terpancang di halaman sekarang sudah hilang. Sungguh sayang tempat wisata sejarah semacam ini tidak dilengkapi keterangan sama sekali, membuat pengunjung yang tak paham sejarahnya, tak merasakan gregetnya saat berkunjung. Untunglah kita hidup di saat “kamus terlengkap di dunia” sangat mudah diakses, informasi sejarah tentang gong nekara bertebaran di internet, sekali ketik kata kunci, sejarah gong nekara bermunculan baik yang hanya berupa legenda, maupun dari hasil penelitian para ahli.
****
Ketika Sawerigading bersama isterinya (We Cuddai) dan ketiga putranya (La Galigo, Tenri Dio, dan Tenri Balobo) kembali dari Cina, dalam perjalanannya menuju ke Luwu mereka singgah di Pulau Selayar, dan langsung menuju ke suatu tempat yang disebut Putabangun dengan membawa sebuah nekara perunggu yang besar. Di tempat itu mereka dianggap sebagai Tumanurung. Pada saat itulah Tenri Dio dianggap menjadi raja pertama di Putabangun, dan menempatkan nekara itu sebagai Kalompoang di Kerajaan Putabangun.
Sepenggal kisah di atas adalah cerita yang melegenda di masyarakat Selayar mengenai asal muasal gong nekara. Bisa jadi legenda itu benar, karena gong nekara memang ditemukan tidak sengaja oleh seorang penduduk bernama Sabuna pada tahun 1686. Menurut cerita, saat itu Sabuna sedang mengerjakan sawah Raja Putabangun di Papaniohea, tiba-tiba cangkul Sabuna membentur benda keras yang ternyata adalah hiasan katak/kodok yang merupakan bagian dari gong nekara. Sejak berakhirnya Dinasti Putabangun, pada tahun 1760 gong nekara tersebut dipindahkan ke Bontobangun dan menjadi kalompoang/arajang (benda keramat) Kerajaan Bontobangun.
Gong nekara Selayar terbilang unik, gong ini di hiasi gambar flora dan fauna (gajah 16 ekor, burung 54 ekor, pohon sirih 11 buah dan ikan 18 ekor). Di permukaan gong bagian atas terdapat 4 ekor arca berbentuk kodok dengan panjang 20 cm dan di samping terdapat 4 daun telinga yang berfungsi sebagian pegangan. Kabarnya salah satu arca kodok pernah dicuri oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, untungnya arca itu bisa ditemukan kembali di Jakarta. Demi menghindari pencurian terjadi lagi, pemerintah provinsi kemudian membuat bangunan khusus untuk gong nekara sebagai pelindung.
Gong "suami" di Selayar, Gong "istri" ada di Cina |
Terbesar di Asia Tenggara dengan luas lingkaran sebesar 396 cm persegi, luas lingkaran pinggang 340 cm persegi, dan tinggi 95 cm persegi |
Entah kabar ini benar atau tidak, gong nekara pernah ditawar sampai Rp.100 Milyar lho.
Untung tidak dijual ya. Jika kalian berencana berkunjung ke Pulau Selayar, tak elok jika tidak mampir ke sini. Apa rela melewatkan benda antik jaman perunggu yang terkenal di dunia ini?
Lokasi: Gong Nekara Selayar terletak di Kampung Matalalang, desa Bontobangun, kecamatan Bontoharu, kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan
Sumber : Wikipedia
Sumber : Wikipedia
Wassalam
Parepare, 15 11 2015
Nur Islah
Huhuhu aku nyesel banget dulu pas tinggal di Makassar ngga banyak traveling ke tempat menarik di sekitar sana. Yang paling jauh cuma Malino n Pare2 :(
BalasHapusSayang sekali ya tidak di explore..gpp mak, ke sini aja lagi :-)
Hapusgak nyoba membunyikan gongnya mbak hehe
BalasHapusGak..takut kena tulah hehehe
HapusKadang ngebayangin orang jaman dulu berlayar smp keluar negeri itu luar biasa ya. Kapalnya kan belum ada mesin.
BalasHapusSoal berlayar ini, jadi teringat, org dulu katanya kl mau ke mekkah diiringi org sekampung, perginya pamit betul kekeluarganya, soalnya takut pulang tinggal nama
Hapusbaru tahu saya ,, terimakasih untuk postingannya
BalasHapusternyata pernah di tawar juga gong nya
BalasHapus