Kami masih memiliki sisa baja ringan bekas pembuatan kanopi kemarin (baca Membuat Kanopi Sendiri). Pap Nay kemudian menggunakan bahan sisa itu untuk membuat Alat Pemanggang. Caranya cukup simple, kurang dari 1 jam, alat pemanggang sudah siap kami gunakan. Berikut hasil pengamatanku (yang sepertinya cukup mengganggu pembuatnya, habis cerewet sih hehehe):
Potong baja ringan menjadi 4 bagian, 2 bagian harus sama panjang untuk nantinya dibentuk persegi panjang.
Iris bagian yang akan dijadikan titik pertemuan baja seperti gambar ini
Rekatkan 4 bagian itu menggunakan sekrup
Ambil 2 potong baja ringan yang lain, ratakan menggunakan palu.Tapi sebelumnya Jangan lupa menyesuaikan panjangnya dengan panjang pemanggang.
Tempelkan baja ringan yang sudah diratakan itu ke baja ringan yang sudah berbentuk pemanggang (segi empat tadi). Tempelkan menggunakan sekrup.
Ambil lagi potongan baja ringan yang lain. Buatlah kaki-kaki dan pegangannya.
Sekarang Alat pemanggang siap digunakan. Cukup tambahkan besi kecil sebagai penahan bahan makanan yang akan dipanggang.
Tampak bagian depan
Tampak bagian belakang
Alat pemanggang yang dibuat Pap Nay ini cukup besar, cocok dipakai untuk acara bakar-bakar ikan di acara kumpul-kumpul keluarga. Tapi jika untuk dipakai sehari-hari, cukup menggunakan 1 sisinya saja. Waktu mencobanya kemarin, cumi yang dibakar cepat matang. Mungkin karena panasnya api tidak kemana-mana, trus bahan baja ringannya juga semakin menambah panas baranya.
Anakku…
Kamu penjelajah sejati
Kamu lebih sering berlari daripada berjalan
Lebih sedikit duduk
Dan lebih sulit dibujuk tidur
Memanjat semua yang terjangkau
Melompat setelahnya
Dan benjol akhirnya
Anakku....
Kamu penjelajah sejati
Membongkar seprai yang baru dipasang rapi
Bergelantungan di jendela sampai gorden menyerupai jemuran
Memecahkan kaca pengalas meja
Memecahkan piring dan gelas
Memecahkan cermin lemari pakaian
Memecahkan kaca lemari sepatu
Melukis indah diseluruh di dinding rumah
Mencoret-coret kursi tamu
Mematahkan mainan yang baru dibeli
Bermain air mengotori lantai sampai jarimu keriput
Memakai semua kaos kaki bersih
Mengaduk-aduk lemari pakaian
Memasukkan kayu dan ranting kedalam rumah
Anakku...
Menjelajahlah...
Akan mama tahan degup jantung yang semakin sering kencang saja
Akan mama latih kesabaran melihat berantakannya rumah
Akan mama latih mulut mama untuk tidak marah
Akan mama latih teriakan mama supaya lebih rendah
Akan mama latih kepanikan mama melihatmu berdarah
Cepatlah besar jagoanku
Menjelajahlah menuntut ilmu
Menjelajahlah sebarkan ilmu
Tapi ingatlah selalu kembali kepangkuan mama
Setiap orang pasti memiliki ide, baik itu ide remeh temeh ataupun penting, semua itu ada didalam diri setiap manusia. Yang membedakan hanyalah pengelolaan ide itu.
Kebun ide atau kolam ide atau istilah apa saja untuk mengistilahkan pengumpulan ide menjadi sangat penting, karena ide-ide bisa muncul kapan saja. Kalau saya, ketika melihat sebuat foto, mendengar cerita orang, membaca buku, mendengar gossip, bahkan ketika sedang di kamar mandi sekalipun ide itu bisa saja muncul.
Ide-ide itu perlu disimpan, dikumpulkan, dan dirawat seperti halnya kebun bunga. Disiram, dipupuk dan dikembangkan untuk suatu waktu menjadi bahan tulisan. Caranya cukup simple, hanya membuat satu file Microsoft word dengan judul kebun ide, saya menuliskan semua ide-ide yang akan saya jadikan bahan tulisan, jika sempat disertai dengan draft-draft tulisan. Biasanya jika sudah berbentuk draft kasar, tulisan bisa cepat terposting.
Oh ya, jika memiliki ide, tapi mengganggap ide itu buruk, jangan dibuang. Tetaplah disimpan, tetap ditulis. Bisa jadi ide yang dianggap tidak penting menjadi ide yang luar biasa dikemudian hari. (ssst…tahu tidak pada awalnya hampir semua ide Thomas Alfa Edison dianggap buruk).
Sama halnya dengan kebun yang sebenarnya. Ketika kebun selalu ditengok, selalu dirawat, selalu ditambah dengan tanaman, maka kebun kita akan besar. Begitu pula dengan kebun ide, jika setiap ide terekam disana, bisa dipastikan selalu ada bibit tulisan yang siap dikembangkan, dan tidak ada lagi istilah kehabisan ide.
Selain wisata pantai dan laut, Selayar ternyata memiliki banyak objek wisata di ketinggian, salah satunya adalah perkampungan Tua Gantarang. Lokasinya berada sekitar 14 km dari kota Benteng (ibukota kabupaten Selayar). Selain melihat keindahan alam yang indah dari ketinggian, di sini kita juga melihat salah satu peninggalan sejarah islam yang pertama di Selayar, bahkan ada yang mengatakan sejarah islam pertama di Sulawesi Selatan.
Sebenarnya mesjid yang kami tuju berada di Gantarang Lalang Bata. Sebelum mencapai kampung tersebut kami harus melewati dulu perkampungan tua Gantarang. Mungkin kampung Gantarang Lalang Bata adalah bagian dari kampung Gantarang itu sendiri.
Mata yang sebenarnya sudah dimanjakan dengan keindahan alam sejak perjalanan tadi, disuguhi lagi dengan keindahan yang langka di depan pintu gerbang Perkampungan Tua Gantarang. Betapa tidak, kami bisa melihat kota Benteng dari kejauhan!! Beberapa saat saya merasa sangat berat meninggalkan tempat ini, padahal kami akan mendapatkan pemandangan-pemandangan yang tak kalah menakjubkan setelahnya.
Pintu Gerbang Perkampungan Tua Gantarang
Rombongan ketika akan memasuki gerbang Perkampungan Tua Gantarang
Memandang kota Benteng yang terlihat seperti titik-titik putih
Kami harus melewati jalan yang agak terjal dan sulit untuk sampai kesana, tidak terlalu jauh sebenarnya, hanya sekitar 14 km dari kota Selayar, mungkin karena medannya yang agak sulit, jadi terasa lebih dari 14 km. Tapi kami tidak merasa lelah sama sekali...Gantaran adalah start petualangan kami yang sebenarnya, karena setelahnya menyusul 2 tempat keren yang kami kunjungi setelahnya dihari yang sama, semua akan saya ceritakan segera di next post.
Melewati pintu gerbang Gantarang, kami disambut pohon-pohon berbatang besar disepanjang jalan, eksotik. Beberapa penduduk mencuci disemacam kali kecil yang mengalir disepanjang jalan, ada yang mencuci pakaian, ada pula yang mencuci motornya. Tempatnya teduh benar. Tidak ada rumah penduduk yang kami lewati kecuali di sekitar pintu gerbangnya tadi.
Setelah pohon-pohon tua besar terlewati, mulailah jalanan terjal dan berkelok, kerikil-kerikil kecil juga banyak sepanjang jalan, memaksa pengendara harus berhati-hati agar tidak tergelincir. Pap Nay yang bawa motor mungkin tidak menikmati benar pemandangan ini karena harus fokus pada jalannya motor. Tapi saya yang berada diposisi dibonceng sangat menikmati hamparan hijau disepanjang jalan.
Sebelah kiri itu merupakan tempat mengalirnya air yang jernih
Mendekati dusun Gantarang Lalang Bata, mulailah terlihat pemandangan fantastis lagi, laut nun jauh disana terlihat jelas dari tempat kami berdiri. Oh ya Gantarang Lalang Bata sendiri bisa diartikan sebagai kampung dalam benteng, memang tempat masuk dan keluar ditempat ini hanya ada 2, pintu masuk utama bertangga yang dibuat khusus pemerintah, dan tempat masuk kedua yang terjal dan berbahaya. Selebihnya dusun dikelilingi tebing yang terjal.
Ada tempat parkir didepan tangga naik, layaknya tempat parkir ditempat wisata pada umumnya, bedanya disini tidak berbayar.
Awalnya saya mengira tempat yang akan kami kunjungi benar-benar murni objek wisata mesjid tua, ternyata ini adalah sebuah dusun yang berpenduduk, kabarnya dusun ini dulunya merupakan sebuah keraton, tapi dikemudian hari para bangsawannya diboyong oleh keluarganya ke kota beserta dengan barang-barang peninggalan-peninggalannya yang lain. Ketika akan memasuki lokasi perumahan penduduk, kami disambut pekuburan tua yang kemistisannya komplit dengan berdirinya pohon besar tua dan tinggi.
Kuburan tua di mana-mana
Mesjid Tua Awaluddin sendiri terletak dipusat desa, seperti mesjid pada umumnya, hanya saja pondasi bangunan unik karena disusun dari batu karang. Entah dulu batu karang memang banyak disana atau sengaja dinaikkan. Jika memang diangkut dari bawah ke bukit, bayangkan hebatnya pendahulu kita, mampu menaikkan banyak batu karang ke bukit dengan medan yang berat, tanpa alat bermesin pula.
Tampilan masjid sebelum di renovasi dindingnya
Mesjid tertua di Selayar
banyak kuburan tua di halaman mesjid
Pondasi dari susunan batu karang
Dipusat bangunan tergantung kayu besar berbentuk huruf alif, konon kayu ini merupakan jenis kayu Lombok yang sudah berumur ratusan tahun, dan sudah ada sejak masjid didirikan. Kayu ini dikawal 4 kayu penyangga, yang beberapa kalangan mengganggap itu sebagai simbol junjungan kita Muhammad saw dikelilingi 4 sahabat.
Tiang utama tergantung di tengah mesjid
Ada sebuah tongkat yang selalu dipakai pembaca khotbah setiap Jumat dan hari Raya Id, yang ternyata didalamnya adalah sebuah pedang panjang, disitu tertulis tahun pembuatannya, tahun 1736. Didekat mimbar, tempat imam masjid memimpin sholat, dulunya disitu ada sebuah sumur, tapi karena muncul mitos bahwa air yang keluar dari sumur itu membuat awet muda, banyak orang yang berkunjung ke mesjid dengan niat yang sudah melenceng dari semestinya. Maka oleh pemerintah sumur tersebut ditutup dengan baki atau plat.
Tongkat yang biasanya dipakai khutbah
Salah satu tradisi unik di masjid ini adalah, ada 3 gulungan tulisan khutbah yang selalu dibaca rutin dan tak pernah diganti isinya sejak mesjid didirikan, gulungan ini dibedakan untuk sholat jumat, Idul adha dan Idul fitri. Tulisannya ditulis dalam huruf Arab. Tapi yang ada di mesjid sudah bukan asli lagi, melainkan salinan saja. Semua ini dijelaskan oleh salah seorang penduduk yang bertindak sebagai pemandu menjelaskan ini itu kepada kami, yang beberapa kali saya sela dan memohon dia menggunakan bahasa Indonesia saja.
Selain tongkat dan gulungan tulisan khutbah, ada juga mimbar yang dilengkapi tulisan syahadat kiri kanan mimbar. Juga terdapat beduk tua yang berdiri didekat pintu masuk.
Beduk tua
Keseruan perjalanan kami bisa dilihat di video ini:
Gantarang Lalang Bata menyajikan perpaduan sejarah dan keindahan alam. Jika memiliki kesempatan lagi, saya tak akan menolak diajak kesini untuk kedua kalinya. Penasaran ingin mengexplore lebih jauh kampung yang berpenduduk ramah ini.
Setelah puas berfoto, kami melaksanakan sholat dhuha disana. Memohon agar diberi reseki umur yang panjang, agar bisa kembali tahun depan.
“Tidak apa-apa umur anak berentet, susahnya cuma sebentar, nanti kalo mereka besar tidak repot lagi”
Atau yang ini
“Kalo kamu melahirkan diumur sekian, anakmu masih SMU kamu sudah bongkok”
****
Saya sering mendengar kalimat di atas, sangat sering malah. Umumnya terdengar ketika melihat anak yang rasanya baru dilahirkan kemarin, dianggap orang lain sudah besar. Padahal sakitnya melahirkan masih terasa, lepas nenen juga masih hitungan bulan, tidurnyapun masih sering dibuai gendong. Tapi karena seringnya mendengar kalimat itu, sayapun jadi terecoki juga.
Saya mulai berpikir minimal anak saya berumur 2 tahun, saya sebaiknya mulai hamil lagi.
Faktor utama yang menjadi pertimbangan nomer satu adalah masalah umur, umur semakin hari semakin bertambah, jatah hidup semakin berkurang, kesehatan juga pasti akan menurun.
Faktor kedua, masih seputaran umur juga. Bagaimana jika anak saya masih butuh uang sekolah yang banyak, sementara ayah ibunya sudah tidak produktif, ayah ibunya sudah lansia.
Faktor ketiga, melahirkan pada usia diatas 30an, apalagi di atas 35 tahun lebih beresiko dari segi kesehatan. Tentu saja akan berbeda jika melahirkan diumur 20an.
Tapi tiba-tiba pemikiran saya berubah tadi….
Daeng Ipul menuliskan cerita tentang ibunya yang meninggal sehari sebelum perayaan kemerdekaan RI (ceritanya di sini). Dikala RI sedang pesta, Daeng Ipul sedang berduka (turut berduka cita Daeng). Point yang paling mengesankan bagiku adalah bagian bahwa ibu Daeng Ipul meninggal diusia yang sangat lanjut. Ketika anak-anaknya sudah besar, tidak disangka orang tua Daeng Ipul dikarunia anak lagi. Anak itu kemudian yang menjadi penghibur dikala anak-anak lain sudah meninggalkan rumah. Anak yang kemudian merawat ibunya sampai meninggal dunia.
MUNGKIN hamil dan melahirkan di usia memasuki injury time bukanlah sebuah petaka....
Ketika mengkhawatirkan reski sang anak, ingatlah ini
..
Tidak ada yang salah ketika Tuhan memberi reski. Karena anak adalah titipan dari Tuhan, berarti Tuhan masih mempercayai kita dengan amanah lagi. Anak yang lahir telah disertai dengan reski masing-masing. Tuhan menitip anak tentu ada biaya titipnya. Ke daycare saja harus bayar, apalagi Tuhan yang menitip bukan 1-2 jam saja, melainkan untuk seumur hidup anak kita. Masihkah meragukan bayaran yang akan diberiNYA.
Rezeki bukan hanya materi, kesepian yang terobati adalah reseki, dirawat anak di usia senja adalah reseki. Beberapa orang tua bahkan sudah merasa kesepian diusianya yang belum lanjut benar. Anaknya mulai diasramakan sejak menginjak bangku SMP, setelah SMA masih juga diasramakan. Setelah kuliahpun sudah tidak nginap dirumah orang tuanya lagi, karena anak harus kuliah di luar kota. Ini salah satu alasan saya tidak akan pernah mengirim anak saya ke asrama (takut kesepian).
Selain alasan agak egois tadi, saya masih ingin memperpanjang waktu membangun bonding dengan anak-anak.
Dari sisi kesehatan memang iya, agak beresiko. Tapi saya ada cerita soal ini. Ini cerita tentang salah seorang teman kantor, istrinya hamil lagi diusia yang menurutku diluar normal, istrinya melahirkan diusia 46 tahun. Dan lebih mengesankan lagi, dia melahirkan dengan normal, bukan melalui operasi caesar. Jadi ketika anak tertua teman ini merayakan wisudanya, dihari itupulalah acara aqiqahan anak bungsunya dilaksanakan.
See? Ketika Tuhan berkehendak, tak ada yang tak mungkin.
Note:
Tulisan ini sebagai pengingat buat diri sendiri, bukan bermaksud menentang yang berbeda pandangan.
Waktu kecil dulu, bulan agustus adalah bulan tersibuk dan tercapek. Waktu TK capeknya menjadi anak yang sudah sekolah belum terasa benar, karena kegiatan yang harus diikuti cuma karnaval, menginjak bangku SD barulah puncaknya, 1-2 bulan sebelum agustus jadwalku sudah full latihan. Latihan membaca puisi, latihan gerak jalan, latihan saritilawa, bahkan latihan menari. Kadangkala ketika teman-teman sedang belajar di kelas, saya dipanggil guru latihan membaca puisi. Gini-gini saya anak kesayangan guru waktu SD, apa aja bisa. Mungkin juga, waktu itu masih keliatan imut ya, didandani apa saja masih enak dilihat, selain itu saya anaknya nurut, disuruh ini itu pede saja, mau dan pede, itulah alasan kenapa saya disukai guru waktu saya SD. Jadilah saya rebutan guru yang jadi PIC kegiatan. Hahaha (kaburrr…sepertinya ada yang mau lempar panci).
Selain sibuk kegiatan lomba-lomba, kami biasanya mengikuti acara perkemahan. Perkemahan juga pasti diadakan dibulan agustus, seluruh sekolah SD dilingkup kecamatan diundang. Biasanya sebelum berangkat berkemah, oleh ibu, saya dibekali mie instan dan telur rebus. Diperkemahan kami juga membantu ibu guru memasak makanan untuk seluruh peserta utusan sekolah. Yang seru saat berkemah itu bagian petualangannya, bagian mencari kali untuk buang air besar, dan bagian naik panggung untuk membaca puisi dimalam hari.
Itulah sekilas cerita tentang kegiatanku dimasa lampau (benar-benar lampau), kini tak terasa saya sudah menjadi ibu yang mengurusi anak yang juga ikut kegiatan agustusan. Padahal rasanya baru kemarin melahirkan Naylah, eh sekarang sudah besar, sudah didandani.
Seperti yang sudah diketahui bersama setiap bulan Agustus, pasti ada acara karnaval untuk anak-anak TK. Tak terkecuali TK Putri Ramadhani, tempat Naylah belajar sekarang. Ibu gurunya memberikan undangan yang tertulis di buku penghubung siswa, intinya Naylah harus berkumpul jam 7 teng di Mesjid Islamic untuk mengikuti karnaval.
Tgl 13 Agustus 2015 pagi, pekarangan Mesjid Islamic Center penuh dengan anak-anak lucu yang berdandan layaknya orang dewasa. Ada yang berdandan memakai baju adat Bugis, Adat jawa, adat Toraja. Ada pula yang memakai pakaian profesi; seperti dokter, tentara, polisi, perawat. Selain baju adat dan profesi, ada pula anak-anak berdandan ala bapak haji/ibu hajjah, adapula yang berdandan cantik mirip princess, bahkan ada yang memakai sayap meniru peri, seru-seru penampilan mereka. Tapi diantara yang saya sebutkan itu baju polisi dan baju dokterlah yang paling banyak dipakai anak-anak itu. Mungkin inilah profesi yang memang banyak anak-anak minati. Atau mungkin diminati ibunya.
Aneka profesi dan baju adat
Rombongan Ibu Hajjah
Peri cantik
Menurut panitia yang memberikan penyambutan ada sekitar 3000-4000 anak yang menjadi peserta, jika ditambahkan dengan ibu-bapaknya ada sekitar 5000 manusia yang memenuhi pekarangan masjid Islamic center, belum lagi para tukang tukang foto yang menawarkan jasa foto, dan penjual-penjual jajanan yang memenuhi pekarangan masjid, benar-benar crowded. Untungnya kami disuguhi pemandangan yang lucu-lucu, rasa gerah berkumpul dengan banyak manusia sedikit terlupakan.
Bukan puluhan ribu uang yang orang tua mereka habiskan untuk acara ini, tapi ratusan. Tapi para orang tua selalu senang hati mengikuti acara karnaval. Kapan lagi bisa mendadani anak-anak seheboh ini jika bukan diacara karnaval, kapan lagi berkumpul dengan sesama orang tua murid, kapan lagi kami bahu-membahu berusaha agar barisan mereka tertib. Anak-anak dan para orang tua memang selalu bersemangat dengan karnaval.
Berikut foto-foto Naylah waktu karnaval kemarin, tidak sanggup rasanya jika hanya menyimpannya di memori hp. Ini harus dia kenang selamanya, karena bisa jadi ini karnaval terakhirnya, tahun-tahun setelah ini mungkin dia hanya bisa mengikuti gerak jalan saja.
Naylah memakai baju adat Toraja
Dulu, almarhumah ibu juga mengabadikan foto karnaval saya, masih teringat betapa spesialnya perasaan waktu itu; didandani, dipasangkan kalung emas kesayangan ibu, dan ditraktir jajanan istimewa yang tidak akan didapat dihari biasa. Ini fotonya, serasa de javu melihat foto Naylah di bawahnya.
Saya memakai pakaian adat Minangkabau
Naylah & Dafi
Itu cerita Agustusan disini, di daerah kamu bagaimana?
Kali ini tentang DIY, mohon untuk tidak menyangka bahwa postingan untuk DIY adalah bercerita mengenai hasil karya saya, label ini khusus untuk karya Pap Nay yang bertangan ajaib.
Beberapa bulan yang lalu…untungnya sekarang tidak lagi, Pap Nay yang hobi segala hal yang melibatkan keterampilan tangan sedang dilanda demam menggosok batu. Bukan demam batu ya, tapi demam menggosok batu akik. Dia bukan tipe orang yang suka membeli batu akik yang sudah jadi, dia lebih menyukai batu yang masih berupa batu kasar atau bongkahan, kemudian mengolahnya menjadi cincin. Dia menyukai proses membuatnya.
Setiap ada waktu senggang, ada saja batu yang dia gosok. Pagi sebelum ke kantor, pulang kantor disore hari, dan malam hari setelah makan malam, mesin gosoknya berdengung setiap saat sampai beberapa saat kadang saya menyangka batu akik sudah menjadi istri keduanya, dia menggosok batu itu setiap saat hahaha.
Untunglah, sebelum saya cemburu berat dengan hobi barunya itu, Pap Nay menghadiahi saya bros dari batu.
Batu-batu yang biasanya diolah menjadi cincin berupa bongkahan yang bisa menjadi 2-3 cincin, Pap Nay mendapat ide, daripada sisa bongkahan itu menganggur, dibuatkanlah saya bros untuk memperindah jilbab yang sehari-hari saya kenakan jika keluar rumah.
Tenyata mudah membuat bros sendiri, berikut stepnya:
Bahan-bahan membuat Bros batu akik
Beli bros di toko
Lho?
Iya, belilah bros dengan model yang paling kamu sukai. Harga bros dengan hiasan berbahan plastik, sangat murah, disini harganya sekitar Rp5rb-20rb.
Potong bongkahan
Buka hiasan plastik pada bros yang dibeli. Kemudian potong batu dengan mengikuti bentuk hiasan bros yang terbuat dari plastik tadi. Sayangnya saya tidak mengambil foto bros yang belum dibongkar plastiknya. Tidak apa-apa kan, pasti semua sudah tahu ya bros yang saya maksud.
Poles batu
Setelah batu dipotong dan sudah sesuai dengan bentuk yang ditiru/diinginkan, gosok batu sampai licin menggunakan amplas yang dipasang di mesin, setelahnya baru poles batu sampai halus benar menggunakan amplas halus.
Alat pemotong dan penghalus (dibuat sendiri oleh Pap Nay menggunakan mesin dari mesin cuci bekas)
Pemasangan
Gantilah hiasan plastik dengan hiasan yang terbuat dari batu. Rekatkan dengan lem kuat. Sebaiknya memakai lem korea, lem ini terbukti sangat kuat.
Sekarang bros plastik seharga RP.5rb bertambah nolnya menjadi Rp.50.000, bahkan bisa lebih.
Baru masuk saja ketempat ini, efek wow langsung terasa. Welcome gate-nya dilatari dengan tulisan nama kampung yang unik, tulisan nama kampung menempel di dinding batu, sangat menggoda untuk segera berfoto disana. Apalagi ketika menjelajahi kampung ini, pokoknya siapkan kamera dengan baterai full saja.
Sumber: Dok.Pribadi
Kampung kecil, jaraknya gerbang kampung sampai ujungnya mungkin hanya 1 km, sangat pendek. Sepanjang jalan kamu akan ternganga disuguhi pemandangan unik dan langka, rumah-rumah bertiang tinggi dan tak bertangga, tinggi tiang rumah sekitar 10-20 meter. Heran kan kenapa tidak pakai tangga? Karena bagian depan rumah itu langsung bukit berbatu. Bukit berbatulah yang dijadikan jalan masuk kerumah. Rumah-rumah disini sudah berumur ratusan tahun, saking tuanya sampai tiang-tiangnya tidak kelihatan lagi warna aslinya, seluruh tiang sudah diselimuti tai angin…Berikut foto-foto dan videonya.
Sumber: Dok.Pribadi
Sumber: Dok.Pribadi
Sumber: Dok.Pribadi
Dengan bentuk rumah yang antik begitu, saya sangat ingin masuk kedalam salah satu rumah itu, tapi karena tidak ada pemandu dan rasanya belum punya keberanian mengetok pintu orang yang tidak dikenal dan langsung minta foto-foto, maka niat diurungkan. Yang membuat surprise juga, ternyata tampak fisik bagian depan rumah sama saja seperti kebanyakan rumah suku Bugis-Makassar pada umumnya, cuma bagian belakang saja yang dipertahankan dengan kondisi kelihatan lapuk begitu (padahal mungkin tidak).
Tampak depan rumah (Sumber: Dok.Pribadi)
Tidak semua rumah berbentuk setinggi itu, ada juga yang seperti rumah pada umumnya, tergantung lokasi berdirinya rumah, karena perkampungan merupakan daerah tinggi (lereng dan puncak bukit), semakin landai tempatnya, semakin tinggi pulalah tiang yang diperlukan. Konon, selain rumah-rumah berumur ratusan tahun, penduduknya pun berumur panjang, bisa sampai 120 tahun!, mungkin karena no polusi, no junk food, no stress ya.
Ketika berkunjung ditempat ini, saya tidak menyangka akan menemukan penduduk yang ramah tamah. Kenapa saya tidak menyangka penduduknya ramah? Sebabnya begini, dari awal masuk ke kampung ini sampai keujungnya, kami disuguhi pemandangan yang bukan hanya unik tapi terasa magis. Hal-hal yang berbau magis biasanya berhubungan dengan keangkeran, dan kami yang berkunjung sebaiknya berhati-hati menjaga tindak-tanduk. Tapi ternyata tidak, sepanjang jalan orang-orang akan memandang sambil tersenyum ramah, dan membuat saya merasa tidak enak jika tidak mengangguk sopan dan membalas senyum mereka. Waktu kami bertanya kesalah seorang penduduk tentang batas Kampung Tua, bapak yang kami tanya menjawab ramah, sampai-sampai sekeluarga mereka mengerumuni kami dan berusaha menjelaskan tentang kampung mereka. Selain ramah mereka juga baik hati, waktu memuji kucing loreng mereka, langsung ditawari untuk dibawa pulang. Tapi tidak saya ambil karena banyak pertimbangan.
Suasana kampung, benar-benar kampung.
Disini, jalanan utama cuma 1, bukan aspal, hanya tanah keras berbatu, 2 mobil tidak akan bisa berpapasan. Jika berniat berkunjung sebaiknya pakai motor saja. Ntah karena kami berkunjungnya dipagi hari atau memang begitulah kebiasaan disitu, suasana hening belaka. Orang-orang beraktifitas pagi tapi tidak ribut, tidak ada suara kendaraan selain suara motor kami, ibu-ibu mencuci di tempat permandian umum, dan beberapa orang laki-laki bersiap ke kebun.
Jalanan Sempit
Oh ya satu lagi yang unik, mesjidnya kecil. Mesjid utamanya saja berukuran sedang, sedangkan sekitar 2 mesjid lainnya berukuran super mini. Kata Bapak tadi, itu hanya buat sholat 5 waktu, kalau untuk sholat Jumatnya di mesjid utama.
Mesjidnya imut (Sumber: Dok.Pribadi)
Selain melihat keunikan yang tidak bakalan dapat ditemui di kota, kita bisa melihat tempat yang hijau dibawah gunung. Ini foto kami sebagai kenang-kenangan pernah kesana.
Jika ingin berkunjung, ini alamatnya:
Perkampungan Tua Bitombang
Kelurahan Bontobangun, Kecamatan Bontoharu, Kepulauan Selayar (sekitar 7 km dari kota Benteng)
Tiket masuk tidak ada, apalagi biaya parkir motor.