Satu minggu ini kuhabiskan dirumah sakit di Makassar. Sedikit cerita tentang pengalaman dirawat disalah satu rumah sakit besar disana.
Kamar yang saya tempati adalah lantai 8. Kantor berbaik hati memberikan jatah VIP, yang ternyata diluar dugaan berkamar mandi luar, dan tidak dilengkapi kunci. Perawat akan mengetuk 1-2 kali, dan langsung masuk. “Permisi…” kata mereka, dan langsung masuk, membuatku harus tetap memakai jilbab setiap saat. Dan yang tak terduga lainnya dirumah sakit ini adalah, ketukan-ketukan (baca, gangguan) itu sangat sering terjadi; ketika ganti shift, perawat pertama dan perawat pengganti akan “ketuk-masuk” melaporkan kalau terjadi pergantian shift, dan menunjuk nama teman yang berjaga. Ternyata perawat penjaga ada dua orang kukira, karena setelah dua perawat tadi pergi, tiba-tiba ada ketukan lagi, 2 perawat lagi (yang diganti dan pengganti), “ketuk-masuk” itu membuatku bangkit lagi dari posisi baring keduduk untuk menghormati mereka yang masuk. Walaupun ini jarang terjadi, biasanya mereka datang langsung berempat. Oh ya, setiap kali mereka masuk, mereka akan memasang pengaman ranjang supaya pasien tidak jatuh, yang sebenarnya pengaman ini menyulitkanku pergi ke kamar kecil karena harus membukanya dulu. “ketuk-masuk” selanjutnya adalah tentu saja perawat jaga melakukan tugasnya, melakukan ukur tensi-suhu tubuh, sekali-kali juga datang mengecek cairan infus sudah hampir habis atau tidak. Dan juga 3 kali datang menyuntik obat suntik kedalam cairan infus. Nah itu baru “ketuk-masuk” perawat yang melakukan tugasnya. Ketukan mengganggu juga datang dari staff pembersih kamar 2 kali sehari, ketukan juga datang dari pembawa teh dan snack 2 kali sehari, dan pembawa makan pagi, siang, dan malam yang dibawa jam 5 sore. Silahkan pembaca menghitung berapa kali ketukan yang saya terima dalam satu hari dalam kondisi dimana saya seharusnya lebih banyak istrirahat.
Dari beberapa perawat yang serang keluar masuk, ada satu favoritku…
Namanya Sabil, perawakan sedang menghampiri kecil, kulit gelap, dengan rambut yang sepertinya kalau panjang berbentuk ikal. Tidak ganteng, tidak manis, tapi terlihat baik hati. Seingatku dia ada hampir tiap hari, menganti perawat jaga sebelumnya. Hanya ada 4 perawat jaga khusus untuk kamarku; perawat perempuan yang lincah dan ramahnya agak berlebihan, perawat pakai jilbab yang agak tambun, laki-laki muda yang manis, dan si perawat Sabil kesukaanku.
Sabil sangat sopan, dia mengetuk pintu dan masuk seperti perawat lain, tapi dengan kata-kata permisi khas dia ” permisi ya bu”, dengan penekanan “ya” yang hanya dimiliki oleh Sabil barangkali. Apapun yang Sabil lakukan selalu dilakukan dengan kata permisi. Memegang infus-permisi, mengecek tanganku-permisi, menyuntikkan obat-permisi, mengukur tensi-permisi, memberikan alat pengukur suhu badan kepadaku-permisi. Memang agak berlebihan menurutku, tapi sepertinya kata permisi itu sudah menjadi bagian dari dirinya yang memang sopan.
Untuk hal-hal yang sepertinya akan berdampak pada pasien, dia selalu mengawali dengan kata-kata bismillah. Ada 3 obat suntikan yang harus saya terima lewat infus dengan kurang nyaman. Pertama obat anti pendarahan, obat antibiotik, dan obat anti sakit. Sepertinya antara obat yang pertama atau yang kedua, ada yang membuat tubuh tidak enak, badan terasa seperti sudah dipukuli dengan keras terutama bagian dada dan pundak, dan saya seperti kehabisan oksigen. Sementara obat anti sakitnya malah membuat nyeri tangan dan pergelangan tangan selama 1 menit. Jika bukan giliran Sabil yang menyuntikku, ritual suntik obat ini terasa mendebarkan sekali. Tapi dampak negatif obat suntik tadi kurang terasa jika disuntik oleh Sabil yang selalu mengucapkan basmalah sebelum mulai menyuntik.
Nginap dirumah sakit selama hampir 1 minggu membuatku rindu setengah hidup sama Kakak Naylah dan Adek Ayyan. Untuk mengobati rindu, saya menelpon mereka sekali-sekali, mendengar suara adek yang super kencang yang terdiri cuma 2 kata “ Halo…halooo” atau “ Aaaa.. Aaa”. Kata Pap Nay, Kakak Naylah selalu sedih, mungkin sudah mulai bosan atau rindu juga sama mamanya. Untuk mengurangi kesedihannya, saya mengiriminya pesan via BBM sepupu atau sms ke nomer HP bapaknya.
Untungnya banyak video-video anak-anakku tersimpan HP, itu juga menjadi salah satu pengobat rinduku. Favoritku video adek yang sedang menyanyi, selalu sukses membuatku tertawa. Ini videonya.
Kebosanan dirumah sakit terobati dengan kunjungan teman-teman kuliah dulu. Menyenangkan sekali menerima Choco Lava buatan Ince yang sayang sekali tidak sempat ketemu karena saya masih diruang operasi. Menerima kunjungan Ika yang menangis ketika masuk, membuatku terharu. Ika bilang dia sangat sensitive dan mudah menangis sejak hamil. Dan surprised sekali mendapat kunjungan Ica, dan Pihi yang lagi hamil 6 bulan. Kami ngakak bersama menertawakan badan-badan masing-masing yang mulai tambun dan menghibur diri bahwa badan melar adalah tanda hidup bahagia. Sayangnya mereka cepat pulang karena sudah magrib. Juga kunjungan tante dan om yang membuat rame kamar yang tadinya sepi.
Foto Choco Lava Ince yang juga diupload di Facebook sekalian promosi jualan dia xixixi. |
Nastarnya juga enak, kalau mau pesan hubungi FBnya Ince Rani |
Rasa bosan dirumah sakit juga berkurang karena buku-buku bacaan yang saya bawa dari parepare dan buku koleksi sepupu, om, dan tante. Salah satu bukunya bagus sudah saya tulis reviewnya disini.
Terakhir, saya mau berdoa, sehatkan saya selalu ya Allah, jangan sakit lagi..aminnn