Beberapa hari yang lalu, dikantor ada oleh-oleh kue Te’tekan yang dibawa salah seorang teman kantor dari Enrekang. Saya dan teman-teman kantor memakannya ramai-ramai. Rasanya manis, empuk, enak. Seperti rasa makanan anugrah gratis pada umumnya, selalu enak.
Ada kenangan tak terlupakan dengan kue ini, saya pernah mabok kue Te’tekan.
Waktu kuliah dulu, saya dan Eni, tante yang umurnya setahun lebih muda dari saya, memutuskan ngekos di daerah dekat kampus, supaya lebih menghemat tenaga dan ongkos transportasi. Sebelumnya kami menumpang dirumah tante didaerah yang lumayan jauh dari kampus.
Setelah beberapa lama mencari kos yang memenuhi kriteria 3 M (murah, murah, dan murah) hahaha, Alhamdulillah lucky us, dapat yang lumayan murah, aman, dan dekat pula dari kampus. Rumah berlantai dua berwarna hijau. Rumah kosnya tidak berjudul atau berlabel seperti pondokan atau kosan pada umumnya. Akhirnya saya dan teman-teman menjuluki kosan itu “Green House”. Kalau ditanya “ kamu tinggal dimana?” kami akan menjawab santai “di Green House” seakan-akan Green house itu sudah terkenal sejagat, urusan belakangan kalau mereka bertanya “ Green House yang mana yah?”.
Lantai atas Green House ditempati oleh empunya rumah, lantai duanya kemudian dibagi-bagi menjadi 4 kamar kos. Kehidupan kos-kosan ini luar biasa seru. Ketika saya dan Eni ngekos di Green House, kamar kosnya sudah penuh, penghuninya berasal dari beragam daerah; Soppeng, Enrekang, Bima, dan Ambon. Mudah-mudahan tidak lupa, kapan-kapan akan saya tulis juga keseruannya.
Kembali ke Kue Te’tekan ….
Namanya anak kos, namanya kaya itu hanya ada disaat kiriman uang datang dari kampung. Setelah beberapa hari, status kehidupan akan berubah kembali menjadi sangat sederhana. Untungnya kehidupan kami penghuni 4 kamar penuh dengan persaudaran. Apapun yang kami makan, ke 3 penghuni kamar lain juga memakannya, begitupula sebaliknya, apa yang mereka makan, kami juga memakannya. Oh indahnya..(seka air mata dulu).
Suatu hari, kami cekak berjamaah. Saya dan Eni kehabisan uang, benar-benar habis dalam artian sebenarnya. Chana, Ika, Rini, Ros juga demikian. Kak Ma’ dan Kak Sani yang berasal dari Ambon kebetulan sedang tidak dikosan. Hari itu hari ahad, kami kebingungan mau makan apa. Seandainya ada uang pembeli mie instant saja, pasti kami sudah senang. Tapi ini betul-betul tidak ada. Dompet semua orang berubah jadi kopiah, kosong melompong. Kerjaan kami cuma berpindah dari kamar yang satu ke kamar yang lain, menertawakan kondisi kami yang memprihatinkan.
Menjelang sore, Alhamdulillah datanglah penyelamat kami. Chana yang dari Enrekang mendapat kue kiriman sekantong besar Kue Te’tekan. Tapi ya cuma kue itu, mungkin belum jadwalnya Chana dikirimkan uang, ntahlah. Tapi kue inilah penyelamat kami semua. Sejak tiba sampai besoknya kami memakan Kue Te’tekan ini. Kami kemudian tetap tertawa bersama, sambil menguyah kue Tetekan yang anehnya tidak bisa habis saking banyaknya.
Ini kejadian sekitar 13 tahun yang lalu.
Ini kejadian sekitar 13 tahun yang lalu.
Sekarang…….
Chana, Ika, dan Eni berprofesi sebagai guru. Rini dan Ros mungkin juga menjadi guru di Bima. Kak Ma’ dan Kak Sani juga mungkin ada di Ambon mengabdi di daerahnya. Semuanya sudah mencapai cita-cita ketika mereka kuliah dulu, menjadi guru. Saya? Saya cukup bangga dan bersyukur dengan pencapaian terbesarku, menjadi seorang Mommy dua pujaan hatiku.
Ah kenangan…
Sepahit apapun ketika sudah berlalu, menjadi bahan cerita yang lucu, indah dan tak terlupakan.
Parepare, 19 maret 2015
Bentuknya kayak daging ditaburi wijen. Semacam jenang juga :D
BalasHapusKalo yang ini lain Mba Mimi, kuenya dari campuran tepung beras dan gula, trus ditaburi wijen, kemudian digoreng. thanks ya dah mampir
BalasHapushahaha iya, kue penyelamat kehidupan
BalasHapuskenangan ketika "masih susah" itu memang kadang terasa lucu saat kita kenang kembali
BalasHapuspasti sekarang agak2 takjub; dulu koq bisa ya kita survive? hahaha
dan saya percaya, pernah "hidup susah" itu memang nikmat
Betul sekali itu yg kita bilang Daeng Gassing
BalasHapus